InspirationMe

Something

Bandung, 10 January 2009

Aku mengadu pada Tuhan dengan bahasaku sendiri, dengan keinginan yang mungkin sejatinya hanya aku yang tahu bagaimana memahaminya, dan Tuhan juga tentu. Aku berdiri di tiap ambang diriku, ketika aku mulai merasa berbenturan dengan nyata, berselisih dengan problema hidup, yang tak kunjung surut dari lagu hidup, yang dengan itu aku merasa benar, bahwa aku sedang hidup. Dalam keadaan seperti ini, baru selesai bercengkrama dengan Cinta, bersujud di tanahnya, emosi terdalamku meninggi. Berkelebat kata-kata, terhambur berupa rangkaiannya, menjadikanku tak sabar menuang kisah, rasa, dalam lembaran kertas, yang tak nyata, tapi nyata. Aku menulis di laptop.

Saat ini yang terasa, aku ingin berlari ke pelukan Bundaku, memeluknya, mendekapnya, membiarkan kepalaku terbenam dalam di tubuhnya, mencium setiap wangi dirinya, yang tak pernah habis selalu bisa menenangkanku, selalu bisa membuatku merasa menang, dalam jibaku yang sebenarnya pun aku kalah. Tapi dia tak pernah henti memberiku pujian, mengusap lembut hatiku, rambutku, mencium pipiku, meyakinkanku bahwa di matanya, akulah pemenang.
Begitupun dia, sosok tegar yang aku tahu, segala perjuangannya untuk aku dan adikku, anaknya. Memulai kehidupan kami dari nol, berusaha berpeluh dan membanting tulang demi sekelumit bahagia untuk putra putrinya, Ayah, tak terkira betapa berharganya dia. Tapi aku pernah membuatnya kecewa, entah apa cukup dalam, yang jelas dia kecewa. Dan aku terluka, larut dalam sesal yang membahana di relung kesadaran. Tapi seperti juga Ibu, dia tak pernah mendapatiku kalah, buatnya, aku pemenang.

Sendu sudah hari ini tiba-tiba, ku kenang sedikit dari yang banyak. Tentang cinta-cinta yang aku punya, yang aku miliki, yang pernah aku kenal, yang sebanyak apapun itu, tak secuilpun sebanding dengan cinta Ibu dan Ayah, tak secuilpun. Terlebih lagi bila dibandingkan dengan Cinta dari Cintaku yang satu itu. Cinta itu tak tertandingi. Aku bersyukur orang tuaku selalu mengajariku untuk terlebih dulu mencintai-NYA. Mereka membuatkanku diagram venn, yang berisikan, semestanya adalah Cinta, lalu dalam semesta itu, terbentuk lingkaran. Di mana lingkaran terluar adalah, Dia,. Yang berarti, Dialah pokok Cinta, Dialah pemilik Cinta, dan Cinta itu sendiri.

Aku tahu, berkali-kali sudah Dia memanggilku, entah tak sampai terhitung Dia menunjukkan Cinta-Nya padaku, tapi aku acuh. aku ego. aku diam. Mengabaikan panggilan-Nya, panggilan penuh Cinta-Nya, yang Agung. Aku sibuk meraih nama cinta yang dibuatNya, aku hanyut memperebutkan perhatian dari cinta buatanNya, tapi aku lupa pada Dia, Cinta itu sendiri.

Sekali lagi, ingin aku terbenam di pelukan Ibu, menyandarkan kepalaku di pangkuannya, membiarkan tangannya mengusap lembut rambutku perlahan, lalu aku tinggal terpejam, menikmati buaian surga duniaku, mendengarkan tutur katanya yang penuh petuah bijak tentang bagaimana seharusnya aku menjalani hidup sebagai seorang muslimah, seorang anak, dan kelak menjadi seorang istri juga Ibu, seperti dia. Akan aku biarkan semua tanggung jawab, lepas sejenak, terburai dan berloncatan di kubangan memory sementara, karena aku sadar tak mungkin aku menghapusnya sebelum tanggung jawab itu kuselesaikan. Itulah pertanda aku menginjak dewasa, bertambahnya tanggung jawab. Yang terpenting, aku menikmati waktu untuk merasa hidup hanya milikku, di pangkuan Ibu, perempuan tercinta dalam hidupku.

Dan aku, ingin ada di sampingnya, atau duduk di depannya, menatapnya dengan takzim, mendengarkannya dengan hikmat, memutar otak untuk mencerna setiap kata yang dia sampaikan, karena dia begitu cerdas, begitu tegas, dan begitu sederhana, juga begitu lugas, jujur memaknai hidup, dan dia mengajarkan itu padaku, mengajakku menatap hidup seperti dia juga menatap hidup. Tak terlalu banyak percakapanku dan dia, aku terlalu merasa tak akan pernah menjadi lebih dari dia dalam hal bicara, dia seorang lelaki hebat, seorang yang keras tapi punya kasih sayang luar biasa, pengorbanannya untuk aku, tak seorang pun dapat menandinginya. Setiap nasehatnya untukku, adalah titipan kepercayaan yang dia berikan. Derai tawanya adalah kesenangan tersendiri untukku. Karena aku tahu, dibalik tawanya itu, ada tanggung jawab besar yang dia pikul, yang dia simpan untuk dirinya sendiri, tak ingin dia tampakkan di depan istri dan anaknya. Lelaki paling aku cintai saat ini di hidupku, karena dia pendamping perempuan yang paling kucintai, Ayahku.

Ibu dan Ayah, mereka selalu menatapku laksana aku adalah seorang pahlawan, seorang pemenang, mutiara, berlian atau sejenis batu mulia teramat sangat berharga yang mereka punya. Tak sedikitpun mereka ingin aku bersedih, atau terluka. Tak sedikitpun mereka ragu untuk mengorbankan setumpuk kebahagiaan mereka, untuk kemudian membuatku tertawa, merasa bahagia. Sungguh, akan sangat tidak tahu dirinya aku, bila sekarang, aku sibuk mencari cinta yang tidak lebih dari yang telah Allah SWT anugerahkan padaku melalui kehadiran Ibu dan Ayahku. Maka Ya Allah, ini adalah renungan untukku sendiri, dan mungkin juga untuk sahabat-sahabatku yang lain, betapa orang tua, adalah cinta yang berharga yang kita punya. Jangan pernah sia-siakan.

Masih banyak kisah yang belum tertuliskan tentang cinta ini, tapi setiap jiwa manusia punya kisahnya sendiri, itulah yang membuat hidup terasa mengesankan, ada masa lalu yang bisa dikenang, saat ini untuk dijalani, masa depan untuk dihadapi.

Comment, Please :)